Welcome to Lisa's Blog

Berkarya untuk mewarnai keilmuan dan aktualisasi diri.

Berjuang dalam semua lini

Do reframing your mind n make everithing easy

Counseling for All

Counseling is My Live.

Semua budaya itu Indah

Jadikan perbedaan sebagai sahabat untuk bersama melangkah menuju kedamaian.

Nuansa adalah keindahan

Nikmati warna dalam nuansa sendu, berjalan, berlari dan terbang .

Selasa, 30 November 2010

komunikasi antar pribadi


Komunikasi antarpribadi bersifat dialogis, dalam arti arus balik antara komunikator dengan komunikan terjadi langsung, sehingga pada saat itu juga komunikator dapat mengetahui secara langsung tanggapan dari komunikan, dan secara pasti akan mengetahui apakah komunikasinya positif, negatif dan berhasil atau tidak. Apabila tidak berhasil, maka komunikator dapat memberi kesempatan kepada komunikan untuk bertanya seluas-luasnya. Sebagaimana yang telah dikemukakan dalam penegasan istilah, penelitian ini lebih ditekankan pada dimensi psikologis perilaku komunikasi antarpribadi siswa. Sehingga secara psikologis perilaku komunikasi antarpribadi siswa meliputi keterbukaan, empati, dukungan, rasa positif dan kesetaraan.
Berikut ini merupakan ciri-ciri efektifitas komunikasi antarpribadi menurut Kumar (Wiryanto, 2005: 36) dan De vito (Sugiyo, 2005: 4) bahwa ciri-ciri komunikasi antarpribadi tersebut yaitu:
  1. Keterbukaan (Openess), yaitu kemauan menanggapi dengan senang hati informasi yang diterima di dalam menghadapi hubungan antar pribadi.
  2. Empati (Empathy), yaitu merasakan apa yang dirasakan orang lain.
  3. Dukungan (Supportiveness), yaitu situasi yang terbuka untuk mendukung komunikasi berlangsung efektif.
  4. Rasa positif (positivenes), seseorang harus memiliki perasaan positif terhadap dirinya, mendorong orang lain lebih aktif berpartisipasi, dan menciptakan situasi komunikasi kondusif untuk interaksi yang efektif.
  5. Kesetaraan atau kesamaan (Equality), yaitu pengakuan secara diamdiam
    bahwa kedua belah pihak menghargai, berguna, dan mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan.

Senada dengan yang dikemukakan oleh De vito (Sugiyo, 2005: 4) bahwa ciri-ciri komunikasi antarpribadi tersebut demikian. Dari kelima ciri-ciri efektifitas kamunikasi antar pribadi tersebut, dapat dijelaskan sebagai berikut:

Keterbukaan (Openess)
Keterbukaan atau sikap terbuka sangat berpengaruh dalam menumbuhkan komunikasi antarpribadi yang efektif. Keterbukaan adalah pengungkapan reaksi atau tanggapan kita terhadap situasi yang sedang dihadapi serta memberikan informasi tentang masa lalu yang relevan untuk memberikan tanggapan kita di masa kini tersebut.
Johnson Supratiknya, (1995: 14) mengartikan keterbukaan diri yaitu membagikan kepada orang lain perasaan kita terhadap sesuatu yang telah dikatakan atau dilakukan, atau perasaan kita terhadap kejadiankejadian yang baru saja kita saksikan.
Secara psikologis, apabila individu mau membuka diri kepada orang lain, maka orang lain yang diajak bicara akan merasa aman dalam melakukan komunikasi antarpribadi yang akhirnya orang lain tersebut akan turut membuka diri.
Brooks dan Emmert (Rahmat, 2005: 136) mengemukakan bahwa karakteristik orang yang terbuka adalah sebagai berikut:
  1. Menilai pesan secara objektif, dengan menggunakan data dan keajegan logika.
  2. Membedakan dengan mudah, melihat nuansa, dsb.
  3. Mencari informasi dari berbagai sumber
  4. Mencari pengertian pesan yang tidak sesuai dengan rangkaian kepercayaannya.


Empati (Empathy)
Komunikasi antarpribadi dapat berlangsung kondusif apabila komunikator (pengirim pesan) menunjukkan rasa empati pada komunikan (penerima pesan). Menurut Sugiyo (2005: 5) empati dapat diartikan sebagai menghayati perasaan orang lain atau turut merasakan apa yang dirasakan orang lain. Sementara Surya (Sugiyo, 2005: 5) mendefinisikan bahwa empati adalah sebagai suatu kesediaan untuk memahami orang lain secara paripurna baik yang nampak maupun yang terkandung, khususnya dalam aspek perasaan, pikiran dan keinginan. Individu dapat menempatkan diri dalam suasana perasaan, pikiran dan keinginan orang lain sedekat mungkin apabila individu tersebut dapat berempati. Apabila empati tersebut tumbuh dalam proses komunikasi antarpribadi, maka suasana hubungan komunikasi akan dapat berkembang dan tumbuh sikap saling pengertian dan penerimaan.
Menurut Winkel (1991: 175) bahwa empathy yaitu, konselor mampu mendalami pikiran dan menghayati perasaan siswa, seolah-olah konselor pada saat ini menjadi siswa, tanpa terbawa-bawa sendiri oleh semua itu dan kehilangan kesadaran akan pikiran serta perasaan pada diri sendiri.
Sedangkan Jumarin (2002: 97) menyatakan bahwa empati tidak saja berkaitan dengan aspek kognitif, tetapi juga mengandung aspek afektif, dan ditunjukkan dalam gerakan, cara berkomunikasi (mengandung dimensi kognitif, afektif, perseptual, somatic/kinesthetic, apperceptual dan communicative).

Dukungan (Supportiveness)
Dalam komunikasi antarpribadi diperlukan sikap memberi dukungan dari pihak komunikator agar komunikan mau berpartisipasi dalam komunikasi. Hal ini senada dikemukakan Sugiyo (2005: 6) dalam komunikasi antarpribadi perlu adanya suasana yang mendukung atau memotivasi, lebih-lebih dari komunikator. Rahmat (2005 :133) mengemukakan bahwa “sikap supportif adalah sikap yang mengurangi sikap defensif . Orang yang defensif cenderung lebih banyak melindungi diri dari ancaman yang ditanggapinya ddalam situasi komunikan dari pada memahami pesan orang lain.
Dukungan merupakan pemberian dorongan atau pengobaran semangat kepada orang lain dalam suasana hubungan komunikasi. Sehingga dengan adanya dukungan dalam situasi tersebut, komunikasi antarpribadi akan bertahan lama karena tercipta suasana yang mendukung. Jack R.Gibb (Rahmat, 2005: 134) menyebutkan beberapa perilaku yang menimbulkan perilaku suportif, yaitu:

[list=a][*]Deskripsi, yaitu menyampaikan perasaaan dan persepsi kepada orang lain tanpa menilai; tidak memuji atau mengecam, mengevaluasi pada gagasan, bukan pada pribadi orang lain, orang tersebut “merasa” bahwa kita menghargai diri mereka.
[*]Orientasi masalah, yaitu mengajak untuk bekerja sama mencari pemecahan masalah, tidak mendikte orang lian, tetapi secara bersamasama menetapkan tujuan dan memutuskan bagaimana mencapainya.
[*]Spontanitas, yaitu sikap jujur dan dianggap tidak menyelimuti motif yang terpendam.
[*]Provisionalisme, yaitu kesediaan untuk meninjau kembali pendapat diri sendiri, mengakui bahwa manusia tidak luput dari kesalahan sehingga wajar kalau pendapat dan keyakinan diri sendiri dapat berubah.

Rasa positif (positivenes)
Rasa positif merupakan kecenderungan seseorang untuk mampu bertindak berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa bersalah yang berlebihan, menerima diri sebagai orang yang penting dan bernilai bagi orang lain, memiliki keyakinan atas kemampuannya untuk mengatasi persoalan, peka terhadap kebutuhan orang lain, pada kebiasaan sosial yang telah diterima. Dapat memberi dan menerima pujian tanpa pura-pura memberi dan menerima penghargaan tanpa merasa bersalah.
Sugiyo (2005: 6) mengartikan bahwa rasa positif adalah adanya kecenderungan bertindak pada diri komunikator untuk memberikan penilaian yang positif pada diri komunikan. Dalam komunikasi antarpribadi hedaknya antara komunikator dengan komunikan saling menunjukkan sikap positif, karena dalam hubungan komunikasi tersebut akan muncul suasana menyenangkan, sehingga pemutusan hubungan komunikasi tidak dapat terjadi. Rahmat (2005: 105) menyatakan bahwa sukses komunikasi antarpribadi banyak tergantung pada kualitas pandangan dan perasaan diri; positif atau negatif. Pandangan dan perasaan tentang diri yang positif,
akan lahir pola perilaku komunikasi antarpribadi yang positif pula.

Kesetaraan (Equality)
Kesetaraan merupakan perasaan sama dengan orang lain, sebagai manusia tidak tinggi atau rendah, walaupun terdapat perbedaan dalam kemampuan tertentu, latar belakang keluarga atau sikap orang lain terhadapnya. Rahmat (2005: 135) mengemukakan bahwa persamaan atau kesetaraan adalah sikap memperlakukan orang lain secara horizontal dan demokratis, tidak menunjukkan diri sendiri lebih tinggi atau lebih baik dari orang lain karena status, kekuasaan, kemampuan intelektual kekayaan atau kecantikan. Dalam persamaan tidak mempertegas perbedaan, artinya tidak mengggurui, tetapi berbincang pada tingkat yang sama, yaitu mengkomunikasikan penghargaan dan rasa hormat pada perbedaan pendapat merasa nyaman, yang akhirnya proses komunikasi akan berjalan dengan baik dan lancar.

Code:
Sumber :
Sugiyo. 2005. “Komunikasi Antarpribadi”. Semarang: UNNES Press
Liliweri, Alo. 2004. “Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya”. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
__________. 1997. “Komunikasi antarpribadi”. Bandung: Citra Aditya Bakti
Changara, Hafied. 2003. “Pengantar Ilmu Komunikasi”. Jakarta: Raja Grafindo
Persada

Selasa, 16 November 2010

Diagnosis Kesulitan Belajar

PENGERTIAN DIAGNOSIS KESULITAN BELAJAR, PEMBELAJARAN REMEDIAL (REMEDIAL TEACHING), DAN PEMBELAJARAN PENGAYAAN
1.      Pengertian Diagnosis Kesulitan Belajar
Diagnosis merupakan istilah yang diadopsi dari bidang medis. Menurut Thorndike dan Hagen (Abin S.M., 2002 : 307), diagnosis dapat diartikan sebagai :
a.       Upaya atau proses menemukan kelemahan atau penyakit (weakness, disease) apa yang dialami seseorang dengan melalui pengujian dan studi yang seksama mengenai gejala-gejalanya (symtoms);
b.      Studi yang seksama terhadap fakta tentang suatu hal untuk menemukan karakteristik atau kesalahan-kesalahan dan sebagainya yang esensial;
c.       Keputusan yang dicapai setelah dilakukan suatu studi yang saksama atas gejala-gejala atau fakta-fakta tentang suatu hal.
Dari ketiga pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa di dalam konsep diagnosis, secara implisit telah tercakup pula konsep prognosisnya. Dengan demikian dalam proses diagnosis bukan hanya sekadar mengidentifikasi jenis dan karakteristiknya, serta latar belakang dari suatu kelemahan atau penyakit tertentu, melainkan juga mengimplikasikan suatu upaya untuk meramalkan kemungkinan dan menyarankan tindakan pemecahannya.
Dan dalam kaitannya dengan Bimbingan dan Konseling, Bruce Shertzer dan Shelley C. Stone ( 1980 : 310 ) dan Hansel ea.al (1977 : 371 ) mengemukakan bahwa “Diagnosis merupakan upaya untuk mengenal dan memahami klien sehingga upaya –upaya yang dilakukan selanjutnya dalam pelaksanaan konseling dapat lebih terarah”.
Syahril (1991 : 45 ) mengemukakan bahwa “Diagnosis kesulitan belajar itu merupakan usaha untuk meneliti kasus, menemukan gejala, penyebab dan menemukan serta menetapkan kemungkinan bantuan yang akan diberikan terhadap siswa yang mengalami kesulitan belajar"
Menurut Burton, seorang siswa dapat juga diduga mengalami kesulitan belajar kalau yang bersangkutan menunjukan kegagalan tertentu dalam mencapai tujuan belajarnya. Kegagalan belajar ini, seperti siswa dalam batas tertentu tidak mencapai ukuran tingkat keberhasilan atau tingkat penguasaan minimal dalam pengajaran tertentu, siswa tidak dapat mencapai prestasi yang semenstinya sesuai dengan potensinya, siswa gagal kalau tidak dapat mewujudkan tugas –tugas perkembangannya, dan lain –lain.
Bila kegiatan diagnosis diarahkan pada masalah yang terjadi pada belajar, maka disebut sebagai diagnosis kesulitan belajar. Melalui diagnosis kesulitan belajar gejala-gejala yang menunjukkan adanya kesulitan dalam belajar diidentifikasi, dicari faktor-faktor yang menyebabkannya, dan diupayakan jalan keluar untuk memecahkan masalah tersebut.
2.      Pengertian Pembelajaran Remedial
Proses pembelajaran merupakan suatu aktifitas yang tidak hanya sekedar penyampaian informasi dari guru kepada siswa tetapi ada interaksi antara guru dengan siswa. Menurut Gagne, pembelajaran adalah usaha guru yang bertujuan untuk menolong siswa belajar, dimana pembelajaran merupakan seperangkat peristiwa yang mempengaruhi terjadinya belajar siswa. 
Dalam keseluruhan proses belajar mengajar, pembelajaran remedial memegang peranan penting, khususnya dalam rangka pencapaian hasil belajar yang optimal. Pembelajaran remedial merupakan suatu cara atau proses yang dilakukan siswa yang mengalami kesulitan, agar siswa tersebut bisa mencapai prestasi yang memadai.
Dilihat dari segi arti katanya remedial berarti bersifat menyembuhkan, membetulkan ataupun membuat menjadi baik. Hal tersebut senada dengan Abu Ahmadi yang mendefinisikan bahwa pengajaran remedial (remedial Teaching) adalah suatu bentuk pengajaran yang membuat menjadi baik.
Proses pengajaran ini bersifat lebih khusus karena disesuaikan dengan jenis dan sifat kesulitan belajar yang dihadapi siswa. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembelajaran remedial merupakan rangkaian kegiatan lanjutan dari usaha diagnosis kesulitan belajar yang telah dilakukan. Proses bantuan ini lebih ditekankan pada usaha perbaikan, cara-cara belajar, cara mengajar, penyesuaian materi pelajaran, penyembuhan hambatan-hambatan yang dihadapi.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran remedial adalah suatu bentuk pembelajaran yang merupakan bantuan atau perbaikan seperti cara mengajar, media pelajaran, metode mengajar, materi pelajaran, lingkungan yang turut serta mempengaruhi proses belajar mengajar.
3.      Pengertian Pembelajaran Pengayaan
Secara umum pengayaan dapat diartikan sebagai pengalaman atau kegiatan peserta didik yang melampaui persyaratan minimal yang ditentukan oleh kurikulum dan tidak semua peserta didik dapat melakukannya.
Untuk memahami pengertian program pembelajaran pengayaan, terlebih dahulu perlu diperhatikan bahwa Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang berlaku berdasar Permendiknas 22, 23, dan 24 Tahun 2006 pada dasarnya menganut sistem pembelajaran berbasis kompetensi, sistem pembelajaran tuntas, dan sistem pembelajaran yang memperhatikan dan melayani perbedaan individual peserta didik. Sistem dimaksud ditandai dengan dirumuskannya secara jelas standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) yang harus dikuasai peserta didik. Penguasaan SK dan KD setiap peserta didik diukur dengan menggunakan sistem penilaian acuan kriteria (PAK). Jika seorang peserta didik mencapai standar tertentu maka peserta didik tersebut dipandang telah mencapai ketuntasan.
Dalam pelaksanaan pembelajaran berbasis kompetensi dan pembelajaran tuntas, lazimnya guru mengadakan penilaian awal untuk mengetahui kemampuan peserta didik terhadap kompetensi atau materi yang akan dipelajari sebelum pembelajaran dimulai. Kemudian dilaksanakan pembelajaran dengan menggunakan berbagai strategi seperti ceramah, demonstrasi, pembelajaran kolaboratif/kooperatif, inkuiri, diskoveri, dsb. Melengkapi strategi pembelajaran digunakan juga berbagai media seperti media audio, video, dan audiovisual dalam berbagai format, mulai dari kaset audio, slide, video, komputer multimedia, dsb. Di tengah pelaksanaan pembelajaran atau pada saat kegiatan pembelajaran sedang berlangsung, diadakan penilaian proses dengan menggunakan berbagai teknik dan instrumen dengan tujuan untuk mengetahui kemajuan belajar serta seberapa jauh penguasaan peserta didik terhadap kompetensi yang telah atau sedang dipelajari. Penilaian proses juga digunakan untuk memperbaiki proses pembelajaran bila dijumpai hambatan-hambatan.
Pada akhir program pembelajaran, diadakan penilaian yang lebih formal berupa ulangan harian. Ulangan harian dimaksudkan untuk menentukan tingkat pencapaian belajar, apakah seorang peserta didik gagal atau berhasil mencapai tingkat penguasaan kompetensi tertentu. Penilaian akhir program ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan apakah peserta didik telah mencapai kompetensi (tingkat penguasaan) minimal atau ketuntasan belajar seperti yang telah dirumuskan pada saat pembelajaran direncanakan.
Jika ada peserta didik yang lebih mudah dan cepat mencapai penguasaan kompetensi minimal yang ditetapkan, maka sekolah perlu memberikan perlakuan khusus berupa program pembelajaran pengayaan. Pembelajaran pengayaan merupakan pembelajaran tambahan dengan tujuan untuk memberikan kesempatan pembelajaran baru bagi peserta didik yang memiliki kelebihan sedemikain rupa sehingga mereka dapat mengoptimalkan perkembangan minat, bakat, dan kecakapannya. Pembelajaran pengayaan berupaya mengembangkan keterampilan berpikir, kreativitas, keterampilan memecahkan masalah, eksperimentasi, inovasi, penemuan, keterampilan seni, keterampilan gerak, dsb. Pembelajaran pengayaan memberikan pelayanan kepada peserta didik yang memiliki kecerdasan lebih dengan tantangan belajar yang lebih tinggi untuk membantu mereka mencapai kapasitas optimal dalam belajarnya.




LATAR BELAKANG DIAGNOSIS KESULITAN BELAJAR & PENGAJARAN PERBAIKAN/PENGAYAAN
(Dikaitkan dengan belajar tuntas, kurikulum, tujuan pendidikan, pengembangan siswa optimal & keuntungan serta akibat jika kegiatan tersebut tidak dilaksanakan)
Standar Nasional Pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, Peraturan Pemerintah nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menetapkan 8 standar yang harus dipenuhi dalam melaksanakan pendidikan. Kedelapan standar dimaksud meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.
Dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional tersebut, kompetensi yang harus dikuasai oleh peserta didik setelah melaksanakan kegiatan pembelajaran ditetapkan dalam standar isi dan standar kompetensi lulusan. Standar isi (SI) memuat standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) yang harus dikuasai peserta didik dalam mempelajari mata pelajaran tertentu. Standar kompetensi lulusan (SKL) berisikan kompetensi yang harus dikuasai peserta didik pada setiap satuan pendidikan. Sementara berkenaan dengan materi yang harus dipelajari, disajikan dalam silabus dan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) yang dikembangkan oleh guru. Menurut pasal 6 PP. 19 Th. 2005, terdapat 5 kelompok mata pelajaran yang harus dipelajari peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus. Kelima kelompok mata pelajaran tersebut meliputi: agama dan akhlak mulia; kewarganegaraan dan kepribadian; ilmu pengetahuan dan teknologi; estetika; jasmani, olah raga, dan kesehatan.
Dalam rangka membantu peserta didik mencapai standar isi dan standar kompetensi lulusan, pelaksanaan atau proses pembelajaran perlu diusahakan agar interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan kesempatan yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Untuk mencapai tujuan dan prinsip-prinsip pembelajaran tersebut tidak jarang dijumpai adanya peserta didik yang memerlukan tantangan berlebih untuk mengoptimalkan perkembangan prakarsa, kreativitas, partisipasi, kemandirian, minat, bakat, keterampilan fisik, dsb. Untuk mengantisipasi potensi lebih yang dimiliki peserta didik tersebut, setiap satuan pendidikan perlu menyelenggarakan program pembelajaran pengayaan.
Dalam kegiatan pembelajaran tidak jarang dijumpai adanya peserta didik yang lebih cepat dalam mencapai standar kompetensi, kompetensi dasar dan penguasaan materi pelajaran yang telah ditentukan. Peserta didik kelompok ini tidak mengalami kesulitan dalam memahami materi pembelajaran maupun mengerjakan tugas-tugas atau latihan dan menyelesaikan soal-soal ulangan sebagai indikator penguasaan kompetensi. Peserta didik yang telah mencapai kompetensi lebih cepat dari peserta didik lain dapat mengembangkan dan memperdalam kecakapannya secara optimal melalui pembelajaran pengayaan. Untuk keperluan pemberian pembelajaran pengayaan perlu dipilih strategi dan langkah-langkah yang tepat setelah terlebih dahulu dilakukanidentifikasi terhadap potensi lebih yang dimiliki peserta didik.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut, sekolah perlu menyusun rencana sistematis pemberian pembelajaran pengayaan untuk membantu perkembangan potensi peserta didik secara optimal.





KEDUDUKAN DIAGNOSIS KESULITAN BELAJAR & PENGAJARAN PERBAIKAN/PENGAYAAN DALAM PBM

Sistem penilaian berbasis kompetensi yang direncanakan dalam kurikulum KTSP adalah sistem penilaian yang bekelanjutan dan sistem penilaian akhir (Dirjen Dikdasmen dalam Sukmara, 2007:174). Dalam sistem berkelanjutan, seluruh indikator dibuat soalnya, kemudian hasilnya dianalisis untuk menentukan kompetensi dasar yang telah dikuasai dan yang belum dikuasai, serta kesulitan-kesulitan yang dialami siswa. Hasil analisis ujian digunakan untuk menentukan tindakan perbaikan berupa program remedial. Apabila sebagian besar siswa belum menguasai suatu kompetensi dasar, maka dilakukan lagi proses pembelajaran, sedang yang telah menguasai kompetensi dasar tertentu diberi tugas untuk pengayaan.
Menurut Sukmara (2007 : 175) sistem penilaian berkelanjutan, dicirikan dengan adanya tindak lanjut dari hasil pengujian, yakni :
1.      Remedial, diperuntukan siswa yang belum mencapai batas ketuntasan minimal
2.      Pengayaan, untuk siswa yang telah mencapai ketuntasan minimal.
3.      Percepatan, yakni bagi siswa yang telah mencapai ketuntasan maksimum.

Demikian juga, evaluasi sebagai salah satu komponen proses kegiatan belajar mengajar dalam kurikulum merupakan umpan balik dalam kegiatan belajar mengajar, salah satu fungsi evaluasi dipergunakan untuk pelaksanaan program pengajaran remedial bila tujuan program pengajaran tidak tercapai.
Dengan melihat uraian di atas maka pengajaran remedial atau remedial teaching memegang peranan, khususnya dalam rangka mencapai hasil belajar yang optimal. Pengajaran remedial merupakan pelengkap dari proses pengajaran secara keseluruhan dan merupakan bagian program yang tak terpisahkan dari program pembelajaran. Oleh karena itu, menurut Ahmadi & Supriyono (2004:150), pengajaran remedial perlu dikuasai setidak-tidaknya dikenal oleh guru mata pelajaran maupun guru BK di setiap satuan pendidikan.



DAFTAR PUSTAKA
Abin, S.M. (2002) Psikologi Pendidikan : Perangkat Sistem Pengajaran Modul. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Koestoer Partowisastro dan A. Hadisuparto. (1998) Diagnosis dan Pemecahan Kesulitan Belajar : Jilid 1. Jakarta : Erlangga.
Siti Mardiyati (1994) Layanan Bimbingan Belajar. Surakarta : Penerbit UNS.
Warkitri (1990) Penilaian Pencapaian Hasil Belajar.Jakarta : Karunika.
Wijaya, cece (2007) Pendidikan Remedial. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Minggu, 07 November 2010

akulturasi dan enkulturasi


Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri.
Enkulturasi
Berbicara tentang enkulturasi kebudayaan berarti membicarakan seluk beluk antropologi yaitu membicarakan tentang kotak-kotak kebudayaan (culture contact). Penelitian terhadap studi enkulturasi di Amerika, bermula dari reaksi terhadap suatu upaya rekonstruksi "memory culture". Kajian enkulturasi kebudayaan berawal dari Inggeris, Perancis, dan Belanda untuk memecahkan masalah-masalah praktis di daerah penjajahan; juga faktor utama yang menyebabkan semakin populernya kajian ini. Sementara di Amerika perkembangan pesat dari studi enkulturasi adalah lebih berkaitan dengan berbagai masalah sosial yang timbul sebagai akibat masa depresi ekonomi (malaise). (Poerwanto, 1997; 56).
Definisi enkulturasi yang sistematik, pertama kalinya dikemukakan oleh Redfield, Linton dan Herskovits (1936): "Acculturation comprehends these phenomena which result when groups of individuals having different cultures come into continous first-hand contact, with subsequent changes in the original cultural patters of either or both groups". Sementara itu terdapat kritikan yang meluas tentang pembatasan tersebut, dan kemudian beberapa penulis melakukan modifikasi; termasuk juga dilakukan oleh tiga orang tersebut di atas. Sekalipun demikian, umumnya mereka tetap berpegang pada definisi tadi sekalipun memahaminya diperlukan beberapa pertimbangan untuk selalu melihat dalam keterkaitannya dengan keseluruhan dari isi memorandum. Beberapa point yang sangat sulit untuk ditafsirkan adalah (1) apa sebenarnya pengertian "continous first-hand contact"; (2) apa pengertian dari "groups of individuals"; (3) bagaimanakah hubungan antara enkulturasi dengan konsep perubahan kebudayaan dan defusi; (4) bagaimanakah hubungan antara enkulturasi dan asimilasi; dan (5) apakah enkulturasi sebagai suatu proses ataukah menunjukkan pada suatu keadaan (a process or a condition).
Dalam salah satu tulisan Thurnwald (1932) bahkan mengatakan bahwa enkulturasi "Acculturation is a process, not an isolated event", sebagai implikasi dari pernyataannya itu, ia lebih menekankan suatu proses yang terjadi pada tingkat individual, karenanya "suatu proses adaptasi terhadap kondisi kehidupan baru" itulah yang disebut enkulturasi.  Selain itu juga berpendapat bahwa "suatu hubungan bukan hanya peristiwa tunggal semata tetapi secara tidak langsung dapat diputar dari kedudukan tombolnya yang hampir menyerupai serangkaian gerakan-gerakan yang hampir selesai terjadi; kesemuanya itu adalah sebagai suatu proses dengan perbedaan tahapan".
Imran Manan, PhD, (1989; 9) menyebutkan enkulturasi dalam arti luas, pendidikan termasuk ke dalam proses umum, di mana seseorang anak bertumbuh diinisiasikan ke dalam cara hidup dari masyarakatnya. Pendidikan mencakup setiap proses, kecuali yang bersifat genetic, yang menolong membentuk pikiran, karakter, atau kapasitas fisik seseorang. Proses tersebut berlangsung seumur hidup, karena kita harus mempelajari cara berpikir dan bertindak yang baru dalam perubahan besar dalam hidup kita. Dalam arti sempit pendidikan, adalah penanaman pengetahuan, keterampilan dan sikap pada masing-masing generasi dalam menggunakan pranata-pranata, seperti sekolah-sekolah yang sengaja diciptakan untuk tujuan tersebut. Istilah pendidikan juga berarti disiplin ilmu (termasuk psikologi, sosiologi, sejarah, dan filosofi pendidikan).
Proses Enkultirasi Kebudayaan
Pendidikan di sekolah hanya merupakan salah satu alat enkulturasi - pendidikan yang lain, mencakup keluarga, gereja, kelompok sebaya dan media masa masing-masing dengan nilai-nilai dan tujuan-tujuannya sendiri. Demikian pula pendidik mungkin ingin menanamkan kualitas tertentu pada anak-anak, seperti berpikir bersih dan pertimbangan bebas, namun pendidik terbatas kesanggupan untuk berbuat demikian karena kenyataannya badan-badan lain mungkin membentuk anak secara berbeda. Televisi, umpamanya, kadang-kadang berusaha memberi informasi, tetapi kebanyakan TV memberi hiburan, kadang-kadang sensasi, dan secara tetap "menjualkan" melalui insinuasi, penonjolan, dan bujukan.
Conny R. Semiawan (2007; 118) menyebutkan bahwa pendidikan itu merupakan "proses membebaskan diri", di mana insan manusia memperoleh peluang mengaktualisasi diri secara optimal "to become what he is capable of", suatu upaya untuk memberdayakan manusia sesuai kemampuan yang ada padanya dan sesuai pilihannya sendiri. Ini adalah suatu pengembangan kemampuan manusia (human capacity development, HCD). Pernyataan ini menggaris bawahi bahwa pendidikan membantu manusia untuk merubah dan mengembangkan dirinya serta meng-enkulturasi diri bukan meng-diisolasikan diri.
Proses enkulturasi kebudayaan terdapat  beragam pendapat sebagaimana yang penulis sebut di atas, apakah enkulturasi merupakan; ;continous first-hand contact";   groups of individuals; bagaimanakah hubungan antara enkulturasi dengan konsep perubahan kebudayaan dan defusi; bagaimanakah hubungan antara enkulturasi dan asimilasi; dan a process or a condition. Enkulturasi merupakan proses kebudayaan dan berkaitan dengan "Sistem nilai budaya dalam kebudayaan" dari semua kebudayaan yang ada di dunia.  Kerangka ini telah dikembangkan oleh seorang ahli antropologi, Clyde Kulkckhohn. Sesudah ia meninggal, konsepnya dikembangkan lebih lanjut oleh istrinya Florence Kulkckhohn, yang dengan kerangka itu kemudian melakukan suatu penelitian yang nyata. Uraian tentang konsep itu bersama hasil penelitiannya dimuat dalam sebuah buku berjudul Variations in value Orientation (1961), yang ditulisnya bersama dengan seorang ahli sosiologi bernama F.L. Strodtbeck. Kerangka Kulkckhohn dapat dilihat pada tabel berikut ini;
Masalah dasar dalam hidup

Orientasi Nilai- budaya
Hakekat hidup
(MH)
Hidup itu buruk
Hidup itu baik
Hidup itu buruk, tetapi manusia wajib berikhtiar supaya hidup itu menjadi baik
Hakekat karya
(MK)
Karya itu untuk nafkah hidup
Karya itu untuk kedudukan, kehormatan, dan sebagainya
Karya itu untuk menambah karya
Persepsi Manusia tentang waktu
(MW)
Orientasi ke masa depan
Orientasi ke masa lalu
Orientasi ke masa depan
Pandangan manusia tentang alam
(MA)
Manusia tunduk kepada alam yang dahsyat
Manusia berusaha menjaga keselarasan dengan alam
Manusia berhasrat menguasai alam
Hakekat hubungan antara manusia dengan sesamanya
(MM)
Orientasi kolateral(horizontal), rasa ketergantungan pada sesamanya (berjiwa gotong royong)
Orientasi vertikal, rasa ketergantungan kepada tokoh-tokoh atasan dan berpangkat
Individualisme menilai tinggi usaha atas kekuatan sendiri
Menurut Koentjaraningrat (1994; 25) bahwa sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi, yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup.